Pemerintah akan Larang Ekspor Olahan Nikel 30-40 Persen, Ini Tanggapan Pengusaha
Pemerintah melalui Kementerian Invsatasi merencanakan penutupan ekspor untuk produk olahan nikel sebesar 30 persen hingga 40 persen demi mendorong rantai hilirisasi nikel.
Menanggapi rencana ini, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menilai kebijakan ini sebagai langkah yang positif pasalnya dapat mendorong investor untuk menanamkan investasinya di Indonesia. Nantinya, investor bisa saja mendirikan industri yang menghasilkan produk jadi di Indonesia.
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan hal yang sama terjadi ketika pemerintah menutup keran ekspor bijih nikel pada awal 2020 lalu.
Sebagai hasil akhir, tercatat sejumlah investor menanamkan investasinya untuk membangun pabrik pengolahan di Indonesia. Kendati demikian, Meidy memastikan rencana kebijakan ini bukan tanpa kekhawatiran dari pelaku usaha. APNI sendiri menyoroti sejumlah hal yang dinilai patut jadi perhatian pemerintah dalam penyusunan kebijakan ekspor ini.
"Kita siap atau tidak, kemudian ada pabrik-pabrik (pengolahan) yang direncanakan untuk siap berdiri," terang Meidy kepada Kontan, Selasa (21/9/2021). Meidy menjelaskan, hingga 2025 mendatang ditargetkan bakal ada 98 pabrik yang bakal berdiri. Saat ini 31 pabrik sudah rampung sementara sekitar 40-an pabrik dalam tahapan konstruksi serta sisanya dalam proses perizinan.
Jika kemudian kebijakan larangan ekspor untuk produk olahan 30 persen hingga 40 persen jadi dilakukan maka dikhawatirkan akan mempengaruhi minat investasi yang sedang berjalan saat ini. Meidy melanjutkan, pemerintah harus memastikan kesiapan pasar untuk menyerap produk yang ada.
Jika kemudian semua suplai ekspor dialihkan untuk kebutuhan domestik maka perlu ada kepastian market yang siap menyerap. Apalagi pada kondisi saat ini saja masih dalam posisi over suplai. Selain sejumlah poin pertimbangan tersebut, APNI juga menilai perlu ada perbaikan tata kelola niaga nikel serta jaminan good pravtive mining ke depannya.
Hal ini juga demi memastikan ketersediaan cadangan nikel di Indonesia. Untuk itu, APNI menilai perlu ada perhatian untuk perbaikan regulasi maupun kebijakan untuk industri nikel dari hulu ke hilir.
"Juga harus dibangun ekosistem yang terarah, terpadu dari industri hulu ke hilir terkait juga dengan regulator yaitu pemerintah dan juga konsumen yaitu industri hilir. Ini satu kesatuan," terang Meidy.
Sementara itu, Chief Financial Officer (CFO) PT Vale Indonesia Tbk (INCO) Bernardus Irmanto memastikan produk olahan nikel Vale adalah nickel matte dengan kandungan nikel 78 persen atau di atas batas kandungan 70 persen.
"Kemungkinan wacana pelarangan ekspor tersebut adalah untuk mendorong tumbuhnya hilirisasi produk nickel di Indonesia, terutama untuk produk NPI/Fe Ni dengan kandungan nickel d bawah 40%," terang Bernardus kepada Kontan, Selasa (21/9/2021).
Kendati demikian, Bernardus mengungkapkan rencana ini perlu dikaji secara baik dengan mempertimbangkan masukan dari pelaku industri. Sebelumnya, rencana melarang ekspor produk olahan nikel 30 persen-40 persen diungkapkan Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia pada Jumat (17/9/2021) lalu.
Bahlil mengungkapkan nantinya ekspor produk olahan nikel yang diperkenankan yakni minimum 70 persen. "Ke depan kami berpikir bahwa bahan baku nikel tidak boleh lagi ekspor barang yang baru 30 persen-40 persen. Kalau seperti itu cadangan habis. Paling (setidaknya) 70 persen," ujar Bahlil. Bahlil melanjutkan, kebijakan ini juga bertujuan untuk memberikan nilai tambah bagi Indonesia.
Sumber : KOMPAS